Sabtu, 16 Januari 2010

Matematika

Semoga tidak menjadi hal yang kadaluarsa jika diriku membahas yang namanya ’matematika’. Meski , saat ini sedang ‘selingkuh’ dari gelarku, namun diriku belajar banyak dari matematika. Berpikir rasional, menginvestigasi masalah dengan logika.

Apa sih hubungannya kesuksesan, konsep diri, dan matematika?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, diriku kembali bertanya, siapa yang ingin sukses? Tentu kita semua ingin. Lantas, dengan apa kita bisa sukses? Banyak hal, dan tentu saja, banyak buku juga yang telah menyarankan jalan menuju sukses.

Konsep diri inilah yang konon kata orang, menjadi kunci sukses seorang manusia, konsep akan keteguhan hati dan perilaku dalam mencapai kesuksesan. Bahkan, banyak motivator yang mensugesti kita menuju konsep diri yang baik agar bisa mencapai kesuksesan. Dengan konsep diri yang baik, manusia tak lekang oleh tantangan, dan tak takut akan namanya kegagalan. Konsep Diri semacam operating system yang menjalankan komputer mental kita. Prestasi hidup kita berbanding lurus dengan Konsep Diri.

Kapan konsep diri itu sebaiknya mulai dibentuk? Masa kritis pembentukan konsep diri terjadi saat saat anak masuk SD. Masa yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orangtua dan pendidik. Di Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran, siswa dituntut untuk mempelajari sangat banyak materi.

Ditambah lagi, pada umumnya anak didik lemah di Matematika. Ini pengalaman, di mana saja, bila diriku bertanya pada orang-orang, ”Apa mata pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak didik?” Jawabannya selalu sama, ”Matematika”. Jadi bosan, mendengar jawaban itu.

Sejak SD, anak didik telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat.

Bagaimana kita membentuk konsep diri yang baik? Matematika dan bahasa jawabannya. Mengapa demikian, karena matematika mengajarkan cara berpikir logis, sistematis, dan menyimpulkan nilai kebenaran. Jika anda menggeluti ilmu matematika, tentu tahu maksud ini. Kemudian, bahasa adalah pengantarnya.

Hal ini sejalan dengan hasil sebuah penelitian yang dilakukan di Spanyol, dengan menggunakan SDQ Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika.

Di banyak negara, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3M. Maaf, bukan menguras, mengubur, dan menutup. Melainkan, Membaca, Menulis, dan Menghitung

Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M. Pertama, bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Kedua, matematika sangat penting untuk mengembangkan logika berpikir.

Lalu bagaimana dengan konsep diri dan matematika. Ini setali tiga uang, proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak, Jika kita mengacu pada (diriku masih sedikit inget nih) teori Piaget (perkembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak). Maka pada usia SD, anak harus belajar dengan cara konkrit. Maksudnya, ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika.

Untuk bisa benar-benar memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.

Saat ini banyak orangtua yang bangga karena anaknya, yang masih SD dapat dengan cepat menghitung perkalian, karena mungkin ikut kursus menghitung cepat. Hal yang sering mereka abaikan adalah, mereka tidak tahu apakah anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. Saya pernah bertanya pada seseorang.

”4 x 1 berapa ya?” tanyaku

Ia pun menjawab. “Ah becanda, ya jawabannya 4 lah,”

”Benar. Saya tahu 4 x 1 itu sama dengan 4. Dan 1 x 4 juga sama dengan 4. Tapi, secara konsep ini berbeda. 4 x 1 itu, apakah 1-nya yang 4 kali (1+1+1+1) atau 4-nya satu kali (4),” tanyaku lagi.

Mendengar pertanyaan ’remeh’ ini. Ia langsung tegas menjawab ”Lha, 4 x 1 itu berarti 4-nya satu kali. Gimana sih,”

”Yakin nih, jawabanya,” tanyaku lagi.

”Yakin lah,” jawabnya.

”Kalau di resep dokter tertulis 4x1, ini apakah anda akan memakan 4 kapsul atau tablet sekali minum,” tanyaku lagi.

Mendengar pertanyaan itu, ia tersenyum sambil berkata, ”Nda begitulah, ya sudah tentu satu kapsul satu kali minum, selama 4 kali. Lha, kalo 4 kapsul sekali minum, saya bisa overdosis. Bapak ini nggak tahu atau pura-pura nggak ngerti?,” jawabnya setengah bercanda.

Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk di SD. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri.

Persis sama seperti hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi? Habislah sudah, nilainya pasti jeblok. Sekedar informasi, dan mungkin tahu, soal cerita matematika adalah soalyang dinilai sulit oleh peserta didik.

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk? Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan yang kelima, anak tidak suka belajar. Sebagian dari hal tersebut, mungkin juga dimiliki oleh anda. Konsep diri yang buruk tersebut, tentu menjadi hal yang utama penghambat meraih sukses.

Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius, namun proses ”pendidikan” yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini, kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.

Bukan bermaksud merasa pintar, atau sudah memiliki konsep diri yang baik. Bahkan, saat ini diriku masih menguras keringat untuk meraih yang namanya suskes. Namun, hal ini adalah sebagai bentuk amanah yang diajari agamaku. ”Jika tidak ingin menjadi golongan manasui merugi. Maka, dianjurkan untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran,”. Wallahualam Bishawab.(run)


***Penulis adalah pengagum matematika, alumni Prodi Matematika FKIP Untirta. Saat ini bekerja di harian Radar Banten, untuk meliput tindak-tanduk wakil rakyat di MPR/DPR/DPD, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar