Senin, 25 Januari 2010

Proposal Skripsi ku


DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROPOSAL SKRIPSI

NAMA : FERI SULISTIANINGRUM
NIM : 4101406041
PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN : MATEMATIKA

A. JUDUL
KEEFEKTIFAN PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (PROJECT-BASED LEARNING) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI POKOK KUBUS DAN BALOK PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP N 2 UNGARAN”.

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia dalam kehidupannya tentulah akan selalu dihadapkan dengan masalah. Demikian pula dengan siswa sekolah, dimana mereka akan menemui suatu masalah saat dihadapkan suatu soal mata pelajaran oleh gurunya, misalnya soal matematika. Masalah dapat dinyatakan sebagai suatu situasi dimana ada sesuatu yang dituju atau diinginkan, tetapi belum diketahui bagaimana mendapatkannya atau mencapainya supaya sampai pada tujuan atau keinginan tersebut.
Sebagian besar Ahli Pendidikan Matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun mereka menyatakan juga bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui siswa (Krismanto, 2003:5).
Menurut Hudoyo (2003), pertanyaaan akan merupakan suatu masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu dapat juga terselinap dalam suatu situasi sedemikian hingga situasi itu sendiri perlu mendapat penyelesaian.
Hudoyo (2003) juga menyatakan bahwa pemecahan masalah mempunyai fungsi yang penting di dalam kegiatan belajar-mengajar matematika. Guru menyajikan masalah-masalah, sebab melalui penyelesaian masalah siswa-siawa dapat berlatih dan mengintegrasikan konsep-konsep, teorema-teorrema dan keterampilan yang telah dipelajari. Hal ini penting bagi para siswa untuk berlatih memproses data atau informasi.
Dalam menyelesaikan pemecahan masalah matematik, diperlukan langkah-langkah dan prosedur yang benar agar penyelesaian masalah menjadi efektif. Menurut Polya (Suherman, 2003:91), solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaiakan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.
Mempelajari strategi pemecahan masalah ini bagi peserta didik selalu menjadi sangat penting karena dapat digunakan atau dimanfaatkan para siswa ketika mereka terjun langsung di masyarakat, maupun ketika mereka mempelajari mata pelajaran lainnya. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematika ini menjadikan kemampuan pemecahan masalah sebagai salah satu aspek penilaian pembelajaran matematika di SMP dalam kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Menurut pendapat penulis, dalam mengukur tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa, bentuk soal uraian adalah yang paling sesuai. Hal ini karena terkait dengan tingkat kesamaan pengerjaan soal uraian dengan soal pemecahan masalah, yaitu perlu menuliskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dan penyelesaiannya secara runtut.
Pembelajaran matematika memfokuskan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk meningkatkan cara berpikir dan bernalar, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Jadi peserta didik dikatakan tuntas jika memenuhi ketiga aspek tersebut. Akan tetapi kenyataannya peserta didik masih kesulitan untuk memenuhi ketiga aspek di atas, terutama aspek pemecahan masalah. Soal-soal yang diberikan oleh guru yang mengacu pada aspek pemecahan masalah kurang dapat diselesaikan peserta didik dengan baik, sehingga berdampak pada rendahnya nilai ujian semester matematika. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya rata-rata nilai ujian semester matematika serta minimnya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada umumnya. Berdasarkan hasil observasi di SMP N 2 Ungaran, nilai rata-rata ujian semester matematika hanya 65,83 dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 65.
Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena minimnya keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga berdampak pada kurangnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah matematika. Salah satu sebab lainnya yaitu karena selama ini peserta didik terbiasa bergantung pada penjelasan guru tanpa mau melakukan kegiatan matematika untuk menemukan konsep pengetahuannya sendiri.
Menurut Kadir (2005:231) untuk mengembangkan motivasi, kesadaran, kontrol diri dan kreativitas peserta didik dalam belajar matematika sesuai dengan tuntutan era yang penuh dengan perubahan maka harus dikembangkan pembelajaran matematika yang tidak hanya mentransfer pengetahuan pada peserta didik tetapi juga membantu peserta didik dalam mencerna dan membentuk pengetahuan mereka sendiri serta memberdayakan mereka untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk itu diperlukan model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah matematika. Salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat dipilih adalah pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning).
Pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) adalah sebuah model pembelajaran yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan peserta didik dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan peserta didik bekerja secara otonom membangun pengetahuan mereka sendiri, dan menghasilkan produk nyata. (Kasmadi, 2008:6).
Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat bagi peserta didik (Santyasa, 2006:12). Dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik terdorong lebih aktif dalam belajar. Guru hanya sebagai fasilitator, mengevaluasi produk hasil kerja peserta didik yang ditampilkan dalam hasil proyek yang dikerjakan.
Model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah adalah pembelajaran konvensional yang menggunakan media grafis berupa kartu masalah yang di dalamnya berisi masalah-masalah untuk membantu guru mengajar. Sedangkan pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berorientasi pada guru dimana kegiatan pembelajaran dikendalikan oleh guru. Guru sebagai pemberi informasi dan peserta didik sebagai penerima informasi. Sehingga dalam pembelajaran konvensional berbantuan masalah, peserta didik hanya dihadapkan dengan masalah yang terdapat pada kartu masalah dan tidak mengalami secara langsung seperti pada pembelajaran berbasis proyek dengan penyelesaian tugas-tugas proyek.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ” Keefektifan Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning) terhadap Peningkatan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Materi Pokok Kubus dan Balok Peserta Didik Kelas VIII SMP N 2 Ungaran”.

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah penerapan model pembelajaran berbasis proyek efektif pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika materi pokok kubus dan balok peserta didik kelas VIII SMP N 2 Ungaran?
2. Apakah kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik yang menerapkan model pembelajaran berbasis proyek lebih baik dari kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik yang menerapkan pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah?

D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui apakah penerapan model pembelajaran berbasis proyek efektif pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika materi pokok kubus dan balok peserta didik kelas VIII SMP N 2 Ungaran?
2. Mengetahui apakah kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik yang menerapkan model pembelajaran berbasis proyek lebih baik dari kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik yang menerapkan pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah.

E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Manfaat bagi Peserta Didik
a) Memberi suasana baru bagi peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar yang diharapkan dapat menimbulkan semangat baru dalam belajar.
b) Membantu mempermudah peserta didik dalam menguasai materi sesuai standar kompetensi dan kompetensi dasar.
c) Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik khususnya pada materi pokok kubus dan balok.

2. Manfaat bagi Guru
a) Meningkatkan profesionalitas guru.
b) Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi guru agar pada pembelajarn matematika yang akan datang model pembelajaran ini dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik.

3. Manfaat bagi Sekolah
Manfaat penelitian ini bagi sekolah yaitu dapat memberikan sumbangan yang baik bagi sekolah dalam rangka proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika peserta didik.


F. PENEGASAN ISTILAH
Penegasan istilah dalam penulisan skripsi ini adalah untuk menghindari kemungkinan adanya salah tafsir. Beberapa istilah yang perlu ditegaskan untuk mendapat penjelasan yaitu sebagai berikut.
1. Keefektifan
Efektif adalah ada efeknya (pengaruh, akibatnya, kesannya), manjur, mujarab, mempan. Keefektifan berasal dari kata efektive yang berarti ada efeknya atau ada pengaruhnya. Keefektifan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan tentang suatu usaha atau tindakan yaitu keberhasilan menerapkan model pembelajaran berbasis proyek pada hasil belajar peserta didik SMP N 2 Ungaran.

2. Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan peserta didik dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan peserta didik bekerja secara otonom membangun pengetahuan mereka sendiri, dan menghasilkan produk nyata. (Kasmadi, 2008:6)

3. Pemecahan Masalah Matematika
Pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan menyelesaikan situasi yang biasanya diwujudkan dalam soal cerita dimana peserta didik diharapkan mampu menggunakan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya dan berpikir tingkat tinggi, termasuk di dalamnya adalah berpikir kritis serta dapat menggunakan berbagai macam strategi untuk memecahkan masalah tersebut (Suherman, 2003:93).

4. Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar adalah perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar (Anni, 2004: 4). Hasil belajar matematika ditunjukkan dalam tiga aspek, yaitu:
a) Pemahaman konsep,
b) Penalaran dan komunikasi,
c) Pemecahan masalah.

5. Pembelajaran Konvensional Barbantuan Kartu Masalah
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berorientasi pada guru dimana kegiatan pembelajaran dikendalikan oleh guru. Guru sebagai pemberi informasi dan peserta didik sebagai penerima informasi. Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini akan dilaksanakan dengan berbantuan media berupa kartu masalah. Media kartu masalah yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan media pembelajaran yang termasuk dalam media grafis/visual yang di dalamnya berisi masalah-masalah untuk membantu guru mengajar.


G. SISTEMATIKA SKRIPSI
Secara garis besar sistematika skripsi ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal skripsi, bagian isi skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal skripsi ini berisi halaman judul, abstrak, lembar pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar table, daftar gambar dan daftar lampiran.
Bagian isi skripsi terdiri dari lima bab. Bab I; Pendahuluan, mengemukakan tentang latar belakang masalah, permasalahan, penegasan istilah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II; Landasan Teori dan Hipotesis, membahas teori yang melandasi permasalahan skripsi dan penjelasan yang merupakan landasan teoritis yang diterapkan dalam skripsi ini, serta kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. Bab III; Metode Penelitian, meliputi jenis penelitian dan rancangan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan metode analisis data. Bab IV; Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi semua hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasannya. Bab V; Penutup berisi simpulan hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran yang diberikan peneliti. Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran.


H. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
1. Landasan Teori
a. Tinjauan Belajar
1) Pengertian Belajar
Belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Tanpa belajar manusia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Uraian pendapat dari beberapa ahli tentang belajar diantaranya, menurut N. L Gagne dan D.C Berliner (dalam Catharina, 2004:2) dikemukakan bahwa “belajar merupakan suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. David R. Shaffer (dalam Catharina, 2004:2) mengatakan bahwa “belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman-pengalaman atau praktik”. Sedangkan menurut W. S Winkel (dalam Catharina, 2004:3) “belajar adalah suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas”.
Dari beberapa pendapat mengenai belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari latihan dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Thomas dan Rohwer (dalam Catharina, 2006:64), menyajikan beberapa prinsip belajar efektif sebagai berikut.
1) Spesifikasi (Specification). Strategi belajar itu hendaknya sesuai dengan tujuan belajar dan karakteristik peserta didik yang menggunakannya.
2) Pembuatan (Generativity). Strategi belajar yang efektif yaitu yang memungkinkan seseorang mengerjakan kembali materi yang telah dipelajari dan membuat sesuatu menjadi baru.
3) Pemantauan yang efektif (efektive Monitoring), yaitu peserta didik mengetahui kapan dan bagaimana cara menerangkan strategi belajarnya dan bagaimana cara menyatakannya bahwa strategi yang digunakan itu bermanfaat.
4) Kemujaraban Personal (Personal Efficacy). Peserta didik harus memiliki kejelasan bahwa belajar akan berhasil apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip belajar efektif tersebut, maka strategi belajar yang dapat digunakan untuk belajar antara lain dengan membuat catatan, belajar kelompok, membaca dan memahami materi yang disajikan serta mengulang secara aktif materi yang pernah dipelajari.

2) Belajar Matematika
Romberg (dalam Hamzah, 2006:1) mengarahkan hasil penelaahannya tentang matematika kepada tiga sasaran utama yaitu sebagai berikut. Pertama, matematika dipandang sebagai ilmu yang statik dan disipilin ketat. Kedua, matematika dipandang sebagai suatu usaha atau kajian ulang terhadap matematika itu sendiri. Kajian tersebut berkaitan dengan apa matematika itu, bagaimana cara kerja para matematikawan, dan bagaimana mempopulerkan matematika. Ketiga, matematika juga dipandang sebagai suatu bahasa, struktur logika, batang tubuh dari bilangan dan ruang, rangkaian metode untuk menarik kesimpulan, esensi ilmu terhadap dunia fisik, dan sebagai aktivitas intelektual.
Sejalan dengan pandangan di atas, Sujono (dalam Hamzah, 2006:1) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan.

3) Pembelajaran Matematika
Pembelajaran Matematika mengoptimalkan keberadaan dan peran peserta didik sebagai pebelajar. Hendrianto (dalam Suherman, 2003:33) mengatakan bahwa ”pembelajaran matematika tidak sekedar learning to know, melainkan juga harus meliputi learning to do, learning to be, hingga learning to live together”. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pembelajaran matematika harus mendasarkan pada pemikiran bahwa peserta didik yang harus belajar. Suyitno, (2006:2) mengatakan pengertian pembelajaran matematika sebagai berikut.
Berdasarkan pengertian di atas maka guru mata pelajaran matematika harus mampu memilih model, metode dan strategi pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai,. Pembelajaran matematika hendaknya selalu dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Dengan demikian diharapkan pembelajaran akan lebih menyenangkan, dan lebih bermakna bagi peserta didik.

4) Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar. Dalam pembelajaran, perubahan perilaku ini dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Menurut Gerlach dan Ely, tujuan pembelajaran merupakan deskripsi tentang perubahan perilaku yang diinginkan atau deskripsi produk yang menunjukkan bahwa belajar telah terjadi. Tujuan pembelajaran merupakan bentuk harapan yang dikomunikasikan melalui pernyataan dengan cara menggambarkan perubahan yang diinginkan pada diri pembelajar. Untuk mengukur kemampuan pembelajar di dalam mencapai tujuan pembelajaran tersebut diperlukan adanya pengamatan kinerja (performance) pembelajar sebelum dan setelah pembelajaran berlangsung, serta mengamati perubahan kinerja yang telah terjadi (Anni, 2004:4-5).
Aspek yang dinilai dalam matematika SMP dibagi menjadi tiga, yaitu pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, serta pemecahan masalah. Ketiga aspek tersebut bisa dinilai dengan menggunakan penilaian tertulis, penilaian kinerja, penilaian produk, penilaian proyek, maupun penilaian portofolio.

b. Teori belajar dan Pendekatan yang Diadaptasi
Beberapa teori belajar dan pendekatan yang diadaptasi Pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Dalam hubungannya dengan teori belajar konstruktivisme, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif seseorang bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi terhadap lingkungannya. Dari teori ini berarti bahwa pembelajaran sebagai proses aktif sehingga pengetahuan yang diberikan kepada siswa tidak diberikan dalam ”bentuk jadi” melainkan mereka harus membentuknya sendiri, sehingga dalam hal ini guru dalam proses belajar mengajar berfungsi sebagai fasilitator.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, teori dan pandangan konstruktivisme ini adalah bahwa untuk memperoleh konsep baru, siswa selalu diajak bahkan ditugaskan dalam kerja kelompok untuk mencari, menyelesaikan masalah, menggeneralisasikan, dan menyimpulkan hasil kajian atau temuan mereka.

2. Teori Belajar David Ausubel
Ausubel membedakan antara belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna adalah suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal diperlukan untuk memperoleh informasi baru seperti definisi. Menurut teori belajar bermakna, belajar menerima dan belajar menemukan keduanya dapat menjadi belajar bermakna apabila konsep baru atau informasi baru dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam penelitian ini, teori belajar David Ausubel ini berhubungan erat ketika menyusun hasil temuan atau hasil diskusi pada kelompok, mereka selalu mengkaitkan dengan pengertian-pengertian yang telah mereka miliki sebelumnya.

3. Teori Belajar Vygotsky
Teori belajar Vygotsky sejalan dengan teori perkembangan Piaget yang meyakini bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu menghadapi tantangan dan pengalaman baru, serta untuk memecahkan masalah yang muncul. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu yang bersangkutan berusaha mengkaitkan pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dimilikinya kemudian membangun pengertian baru.
Vygotsky mempercayai bahwa sepanjang proses perkembangan siswa, tergantung pada interaksi sosial dan dimulai dengan kemampuan kognitif aktual menujuk kemampuan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, interaksi sosial dengan guru atau teman lain yang kemampuannya lebih tinggi akan memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Prinsip-prinsip teori Vygotsky ini merupakan bagian kegiatan pembelajaran untuk pembelajaran berbasis proyek melalui bekerja kelompok kecil. Peran kerja kelompok ini adalah untuk mengembangkan kemampuan aktual siswa, dengan kerja kelompok maka beberapa penemuan kembali yang dilakukan siswa dapat dikumpulkan kemudian digeneralisasikan atau disimpulkan secara bersama dalam kelompok itu. Bilamana terjadi kesulitan dalam menyelesaikan masalah secara kelompok siswa, maka guru dapat membantunya.

4. Teori Belajar Jerome S. Bruner
Bruner terkenal dengan metode penemuannya. Dalam proses belajar mengajar, pengertian penemuan di sini bagi siswa adalah penemuan kembali (reinvention), jadi dalam proses belajar mengajar siswa diajak untuk menemukan kembali aturan-aturan atau dalil-dalil yang sudah ada.
Bruner memandang bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, oleh karena itu dengan metode penemuan membuat pengetahuan siswa akan menjadi lebih baik. Akibatnya dari metode ini, bahwa Bruner tidak mengembangkan teori belajar secara sistematis, namun yang penting adalah bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif.
Selanjutnya seiring dengan struktur kognitif anak, maka Bruner dalam mengembangkan teorinya mendasarkan atas dua asumsi yaitu: Pertama, perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, artinya orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan terjadi pada pada diri individu dan lingkungannya. Kedua, seseorang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang telah dimilikinya.
Dengan metode penemuan ini, dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, Bruner mengembangkan teknik scaffolding dan interaksi sosial didalam kelas. Scaffolding adalah proses untuk membantu kesulitan siswa dalam menuntaskan masalah tertentu sehingga siswa dapat melampaui kapasitas kemampuannya melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
Dalam peneltitian ini teori belajar Jerome S. Bruner berhubungan erat dengan pembelajaran berbasis proyek ketika para siswa harus mencari penyelesaian suatu masalah. Dalam menyelesaikan masalah, siswa harus melihat apa yang diketahui, beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah bahkan terkadang perlu menggambarkan terlebih dahulu grafik dari solusi yang mungkin.

5. Pendekatan Open-Ended
Penerapan problem open-ended dalam pembelajaran adalah untuk mengembangkan metode, cara, pendekatan yang berbeda ketika menjawab suatu permasalahan, dan bukan hanya berorientasi kepada hasil akhir.
Pembelajaran dengan pendekatan open-ended dimulai dengan memberikan problem terbuka kepada siswa. Mereka diminta untuk mengembangkan metode, cara yang berbeda-beda dalam upaya memperolah jawaban yang benar. Dari hasil jawaban siswa tersebut didiskusikan adanya berbagai kemungkinan cara menjawab dan berbagai hasil akhir yang mungkin berbeda. Penyampaian jawaban siswa ini penting guna memberikan kepercayaan kepada siswa bahwa cara mengerjakan suatu masalah maupun jawaban akhir yang benar tidak selalu sama.
Kegiatan ini diharapkan pula dapat membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dengan demikian maka proses pembelajaran akan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif serta kemampuan pemecahan masalah siswa.
Pada penelitian ini, pendekatan pembelajaran open-ended ini digunakan ketika siswa diberi masalah dengan banyak cara dan/atau jawabannya tidak tunggal. Bentuk seperti ini banyak terjadi pada permasalahan Perbandingan, yang mempunyai sifat terbuka dalam bertanya, strategi maupun dalam menangani masalah pribadi siswa.

c. Model Pembelajaran
Joyce (dalam Trianto, 2007:5) megatakan bahwa ”model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, dan lain-lain”. Setiap model pembelajaran mengarahkan ke dalam mendesain pembelajaran untruk membantu peserta didik sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Kardi dan Nur dalam Trianto (2007:6) mengemukakan empat ciri model pembelajaran yaitu sebagai berikut.
1) Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau para pengembangnya.
2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai).
3) Tingkah laku mengajar yang dibutuhkan agar model tersebut dilaksanakan dengan berhasil.
4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Beberapa model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar antara lain adalah model pengajaran langsung, pembejaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah dan diskusi kelas. Penerapan model pembelajaran akan mampu memberikan beberapa perubahan hasil belajar maupun tingkah laku peserta didik. Trianto (2007:9) mengatakan bahwa ”setiap model pembelajaran yang diterapkan akan mempunyai dampak yang berbeda-beda antar masing-masing model”. Penerapan model pembelajaran disesuaikan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan sehingga diperoleh penyelesaian yang tepat. Dengan demikian merupakan hal yang sangat penting bagi para pengajar untuk mempelajari dan menambah wawasan tentang model pembelajaran. Penerapan model pembelajaran yang tepat dapat memudahkan dalam mencapai tujuan pembelajaran.

d. Efektivitas model pembelajaran
Menurun nieveen, dalam pengembangan model pembelajaran, untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan efektif atau tidak maka harus berdasarkan indikator-indikator:
(1) Aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran,
(2) Hasil belajar peserta didik, dan
(3) Respon guru dan peserta didik terhadap model pembelajaran.
Dalam penelitian ini, aspek aktifitas peserta didik selama proses pembelajaran diukur dengan menggunakan lembar pengamatan aktifitas peserta didik. Aspek hasil belajar diukur dengan tes kemampuan pemecahan masalah dalam bentuk soal uraian. Aspek respon guru dan peserta didik ditunjukkan dengan penyebaran angket kepada guru dan peserta didik.

e. Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan pengertian model pembelajaran berbasis proyek. Buck Institute of Education (2007) mengungkapkan bahwa “pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) sebagai model pembelajaran sistem yang melibatkan peserta didik di dalam transfer pengetahuan dan keterampilan melalui proses penemuan dengan serangkaian pertanyaan yang tersusun dalam tugas atau proyek. Waras Kasmadi (2008:6) menyebutkan bahwa ”pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks”. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan peserta didik dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan peserta didik bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, serta menghasilkan produk nyata.
Dari keterangan di atas maka pembelajaran berbasis proyek dapat dipandang sebagai pembelajaran yang dapat mendorong peserta didik membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman langsung seperti mengukur panjang rusuk dan luas permukaan kardus berbentuk balok.
Secara garis besar, langkah-langkah di dalam melakukan pembelajaran berbasis proyek yaitu:
1) Memberikan informasi proyek yang akan dikerjakan;
2) Menentukan lokasi penelitian/pengamatan, waktu dan lamanya kegiatan;
3) Membentuk kelompok;
4) menugasi kelompok untuk membuat format pengumpulan data;
5) Menugasi kelompok untuk memulai kegiatan;
6) Menugasi masing-masing kelompok untuk menyajikan data dan menampilkannya di depan kelas;
7) Menarik kesimpulan (Buck Institute of Education 2007).

Waras Kasmadi (2008:20) menyebutkan beberapa keuntungan dari pembelajaran berbasis proyek yaitu:
1) Meningkatkan motivasi,
2) Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah,
3) Meningkatkan kemampuan kolaboratif, dan
4) Meningkatkan kemampuan mengelola sumber.
f. Penugasan Proyek
Proyek merupakan salah satu jenis tugas unjuk kerja yang secara umum menuntut kemampuan peserta didik melakukan kegiatan mengorganisasi kegiatan belajar kelompok, melakukan penelitian atau investigasi, mensintesis informasi dan memecahkan masalah (Lambas dkk, 2004:13). Proyek dapat memberikan pelajaran kepada peserta didik bahwa banyak kaitan antara matematika dan dunia nyata. Misalnya proyek pada bidang makanan dan kesehatan, olahraga, pertanian dan bisnis dapat melibatkan penggunaan matematika. Proyek juga dapat megaitkan antara matematika dengan ilmu yang lain.
Tujuan utama dari pengajaran matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan matematika peserta didik. Lambas dkk (2004:30) mengatakan bahwa proyek penting untuk mengembangkan kemampuan matematika peserta didik karena proyek memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengerjakan hal-hal diantaranya yaitu:
1) menyelesaikan masalah matematika dan mengaplikasikan dalam dunia nyata;
2) menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan ide-ide;
3) menggunakan kemampuan untuk mengaplikasikan keterampilan penalaran dan keterampilan analisis;
4) mendemonstrasikan keterampilan dari konsep, keterampilan dan algoritma;
5) mengembangkan pemahaman tentang hakikat matematika;
6) mengintegrasikan kemampuan matematika ke dalam konsep yang lebih bermakna;
7) menalar untuk menggambarkan kesimpulan dari investigasi.
Penggunaan proyek dalam kelas matematika dapat menghasilkan beberapa hasil pembelajaran yang positif untuk peserta didik. Di samping untuk mengembangkan kemampuan matematika, proyek memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh secara sosial dan intelektual. Lambas dkk, (2004:30) menyebutkan hasil-hasil non-matematika yang merupakan hasil kerja proyek yaitu sebagai berikut.
1) Belajar mendefinisikan masalah dan melakukan penelitian secara bebas.
2) Belajar bekerjasama dengan orang lain saat mengerjakan proyek bersama.
3) Belajar bahwa masalah dunia nyata sering tidak sederhana tetapi memerlukan usaha yang keras dan jangka yang panjang yntuk menyelesaikannya.
4) Belajar melihat matematika sebagai sains yang eksperimental.
5) Belajar mengorientasikan, merancang dan mencapai tujuan jangka panjang.
6) Belajar menulis laporan investigasi.
Setiap tugas proyek harus dievaluasi mutunya. Suatu proyek tertulis dapat digunakan untuk menilai keterampilan peserta didik. Jika proyeknya dipresentasikan di kelas, maka dapat dinilai keterampilan komunikasinya secara lisan. Suatu jawaban suatu masalah non rutin yang sulit merupakan bukti dari kemampuan pemecahan masalah dan keterampilan penalaran (Lambas dkk, 2004:17).

g. Pemecahan Masalah Matematika
Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah.
Menurut Frosti dan Maslow (dalam Suyanto dkk, 2001:3) “pemecahan masalah (Problem Solving) memacu fungsi-fungsi otak”. Anak mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mencari problem dan mencari alternatif pemecahannya. Taylor (dalam Suyanto dkk, 2001:3) menambahkan bahwa “pemecahan masalah mengembangkan kemampuan anak mengambil keputusan”. Pada saat alternatif pemecahan masalah ditemukan, anak harus memilih alternatif terbaik. Ia harus membuat keputusan alternatif mana yang akan dipilih. Melalui pemecahan masalah, aspek-aspek keterampilan yang lain seperti pemahaman konsep, penemuan pola, komunikasi dan lainnya dapat dikembangkan dengan lebih baik.
Fadjar Shadiq (2005:39-41) mengatakan bahwa solusi pemecahan masalah memuat empat langkah penyelesaian, yaitu sebagai berikut.
1) Memahami masalah
Pada tahap ini, peserta didik harus mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Hal-hal yang penting hendaknya dicatat, dibuat tabelnya, ataupun dibuat sket atau grafiknya. Tabel atau gambar ini dimaksudkan untuk memudahkan memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaiannya.
2) Merencanakan penyelesaian
Kemampuan melakukan fase kedua ini sangat tergantung pada pengalaman peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan peserta didik lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah.
3) Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat baik secara tertulis atau tidak, maka selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat.
4) Menafsirkan dan mengecek hasilnya
Langkah terakhir menyelesaikan masalah adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga peserta didik dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
Penerapan langkah-langkah pemecahan masalah menurut Fadjar Shadiq tersebut akan dikaitkan dengan materi pembelajaran dalam penelitian ini yaitu pada tinjauan materi kubus dan balok.

h. Kemampuan Memecahkan Masalah
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, dengan imbuhan ke-an kata mampu menjadi kemampuan yaitu kesanggupan atau kecakapan. Kemampuan memecahkan masalah dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah pada materi pokok kubus dan balok.
Suherman dkk, (2003:92) menjelaskan mengenai berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa “anak yang diberi banyak latihan pemecahan masalah memiliki nilai lebih tinggi dalam tes pemecahan masalah dibandingkan dengan yang latihannya lebih sedikit”. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka untuk memperoleh kemampuan dalam memecahkan masalah, seseorang harus memiliki berbagai pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah.
Kemampuan pemecahan masalah dapat dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut (Tim PPPG Matematika Yogyakarta, 2005:96).
1) Kemampuan menunjukkan pemahaman masalah.
Misalnya peserta didik diberi permasalahan seperti berikut ini. “Pak Parman ingin membuat kotak perkakas berbentuk kubus untuk menyimpan alat-alat pertukangan, dengan panjang rusuknya 30 cm. Kotak perkakas tersebut akan dibuat dengan bahan triplek. Jika harga triplek adalah Rp 6.000; per 100 cm2. Berapa uang yang harus pak Parman siapkan?”. Maka peserta didik harus mampu mengidentifikasi apa yang diketahui dan yang ditanyakan dari permasalahan tersebut.
2) Kemampuan mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah.
Contoh dari permasalahan pada butir 1, peserta didik dapat mengorganisasi data yaitu panjang rusuk kubus 30 cm dan harga kayu adalah Rp 6.000,00 per cm2. Peserta didik juga harus mengetahui bahwa luas kubus sama dengan luas kayu yang digunakan untuk membuat kotak perkakas.
3) Kemampuan menyajikan masalah matematik dalam berbagai bentuk.
Misalnya dari permasalahan pada butir 1, peserta didik dapat menyajikan masalah secara matematik yaitu panjang rusuk = r, luas kubus = L, dan luas permukaan kotak = luas permukaan kubus = 6r2.
4) Kemampuan memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.
Contoh: untuk memecahkan masalah pada butir 1, peserta didik dapat memilih pendekatan berpikir logis terhadap data-data yang dimiliki. Peserta didik harus mampu berpikir bahwa untuk menentukan banyaknya kayu yang dibutuhkan untuk membuat kotak berbentuk kubus adalah dengan mencari luas permkaan kubus.
5) Kemampuan mengembangkan strategi pemecahan masalah.
Contoh dari permasalahan pada butir 1, peserta didik mampu berpikir bahwa biaya yang dibutuhkan berarti banyaknya kayu dibagi dengan harga kayu.
6) Kemampuan membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah.
7) Kemampuan menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
Permasalahan tidak rutin adalah permasalahan yang penyelesaiannya tidak dapat diperoleh secara langsung dengan menerapkan satu atau lebih algoritma berdasarkan data-data yang diketahui.

i. Model Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang menekankan kepada guru sebagai pusat informasi dan peserta didik sebagai penerima informasi (Nurhayati, 1999:2). Pada kegiatan pembelajaran konvensional ini biasanya digunakan metode ekspositori.
Secara umum langkah-langkah dalam pembelajaran metode ekspositori yaitu berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi, memberikan contoh soal disertai dengan tanya jawab (Amin Suyitno, 2004:4). Dominasi guru banyak berkurang pada metode ini. Guru tidak terus menerus berbicara, tetapi hanya berbicara pada saat awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan, tetapi juga mengerjakan soal latihan dan bertanya jika mengalami kesulitan. Guru dapat memeriksa pekerjaan peserta didik secara individual, menjelaskan lagi kepada peserta didik secara klasikal maupun individual. Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini akan dilaksanakan dengan berbantuan media kartu masalah.

j. Media Kartu Masalah
Pada hakikatnya pembelajaran merupakan proses komunikasi antara guru dengan peserta didik. Menurut Azhar Arsyad (2004:3) ”media pembelajaran merupakan alat-alat, grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses dan menyaring kembali informasi verbal atau viasual”. Media pembelajaran dapat dikatakan sebagai komponen dari sistem pembelajaran yang mempunyai fungsi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan penggunaannya disesuaikan dengan tujuan dan isi pembelajaran.
Media kartu masalah yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan media pembelajaran atau perlengkapan yang termasuk dalam media grafis atau visual yang di dalamnya berisi masalah-masalah untuk membantu guru mengajar. Salah satu arti penting penggunaan media adalah mampu menciptakan kondisi kelas dengan kadar aktivitas dan motivasi peserta didik yang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Azhar Arsyad (2004:61) bahwa ”visual dapat menimbulkan minat peserta didik dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata”. Oleh karena itu media visual berupa kartu masalah ini baik untuk digunakan dalam pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

k. Model Pembelajaran Konvensional Berbantuan Kartu Masalah
Model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran konvensional yang menggunakan media grafis berupa kartu masalah yang di dalamnya berisi masalah-masalah untuk membantu guru mengajar.

l. Tinjauan Materi Kubus dan Balok
1) Luas Permukaan Kubus
Kubus merupakan sebuh bangun yang beraturan yang dibentuk oleh enam buah persegi yang kongruen.
Jika sebuah kubus dengan panjang rusuk s dipotong pada beberapa rusuknya maka akan terbentuk suatu jaring-jaring yang merupakan rentangan dari permukaan kubus yang tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.5. Kubus dan Jarring-Jaring Kubus
Dari jaring-jaring kubus dapat disimpulkan bahwa kubus memiliki enam buah bidang dengan tiap bidangnya berbentuk persegi. Maka rumus luas permukaan kubus dapat dicari dengan cara sebagai berikut.
Luas jaring-jaring kubus = 6 x luas persegi
= 6 ( s x s)
= 6 s2
Jadi, rumus luas permukaan kubus adalah L = 6 s2
Contoh masalah:
Sebuah kamar tidur berbentuk kubus dengan panjang diagonal sisi 3 m. Dua buah dindingnya terbuat dari kaca dan dua buah lagi berupa tembok. Kamar tersebut hendak dicat warna biru pada dinding bagian yang berupa tembok saja. Jika 1 kg cat dapat digunakan untuk mengecat dinding seluas 6 m2. Berapa kilogram cat yang dibutuhkan untuk mengecat dinding kamar tersebut?
Penyelesaian:
a) Memahami masalah
1) Peserta didik mampu menuliskan yang diketahui.
Dari soal diketahui bahwa ruang kamar berbentuk kubus memiliki 2 sisi tembok akan dicat.
Panjang diagonal sisi = 3 , 1 kg cat = 6 m2
2) Peserta didik mampu menuliskan yang ditanyakan.
Ditanyakan berapa kg cat yang dibutuhkan untuk mengecat tembok
3) Peserta didik mampu membuat gambar/sketsa.


b) Merencanakan penyelesaian
Untuk menyelesaikan masalah di atas, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Menghitung panjang sisi dengan rumus Pythagoras.
2) Menghitung luas dua buah sisi kubus.
3) Luas dua buah sisi kubus merupakan luas dinding tembok.
4) Menghitung banyak cat yang dibutuhkan untuk mengecat tembok.
c) Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Misalkan diagonal sisi = ds dan panjang rusuk = s, maka:
ds = 3 , sehingga s = 3
luas dua sisi kubus = 2(s x s) = 2 (3 x 3) = 18
Luas dinding tembok = 18 m2
Cat yang dibutuhkan = = 3
d) Menafsirkan hasil
Banyaknya cat yang dibutuhkan untuk mengecat dinding kamar berbentuk kubus yang berupa tembok adalah 3 kg.

2) Luas Permukaan Balok
Luas permukaan balok adalah jumlah luas seluruh permukaan bangun ruang tersebut. Bidang balok berbentuk persegi panjang maka kita dapat menentukan luas permukaan balok dengan menggunakan jaring-jaring balok dengan langkah sebagai berikut.


balok jaring-jaring balok

Model balok di atas mempunyai panjang p, lebar l, dan tinggi t. Salah satu jaring-jaring yang dapat dibentuk adalah seperti gambar di atas. Luas permukaan balok dapat dicari dengan mencari luas persegi panjang.
Luas bidang alas dan atas = 2 x (p x l) = 2pl
Luas bidang depan dan belakang = 2 x (p x t) = 2pt
Luas bidang kiri dan kanan = 2 x (l x t) = 2lt
Luas jaring-jaring balok = jumlah luas seluruh permukaan (bidang)
= 2pl + 2pt + 2lt
= 2 (pl + pt + lt)
Luas permukaan balok sama dengan luas jaring-jaringnya, yaitu
L = 2 (pl + pt + lt)
Jadi rumus luas permukaan balok adalah
L = 2 (pl + pt + lt)
Dengan :
L = luas permukaan
p = panjang balok
l = lebar balok
t = tinggi balok

3) Volum Kubus

Kubus merupakan balok yang ukuran panjang, lebar dan tingginya sama. Oleh karenanya, rumus volume kubus dapat diperoleh dari rumus volume balok.
Dengan cara sebagai berikut:
V = p x l x t
= s x s x s
V = s3
Oleh karena s x s merupakan luas alas, maka:
V = luas alas x tinggi atau V = s3
Dengan V = volume kubus dan s = panjang rusuk kubus.

4) Volum Balok

Gambar diatas menunjukkan sebuah balok dengan ukuran panjang = p, lebar = l dantinggi = t, maka volum balok tersebut adalah sebagai berikut.
V= p x l x t atau V = plt
Oleh karena p x l merupakan luas alas, maka:
Volume balok = luas alas x tinggi
Jadi volume balok dapat dirumuskan sebagai berikut
V = luas alas x tinggi atau V = p x l x t
Dengan : V = volume balok
p = panjang balok
l = lebar balok
t = tinggi balok

2. Kerangka Berpikir
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya, sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Salah satu faktor penting untuk mewujudkan hal tersebut adalah manajemen model pembelajaran yang dilaksanakan. Trianto menyebutkan bahwa model pembelajaran merupakan salah satu faktor penunjang berhasil atau tidaknya seorang guru dalam membelajarkan peserta didik (Trianto, 2007:5).
Kurangnya peran aktif peserta didik dalam menerima pelajaran matematika mengakibatkan hasil evaluasi matematika lebih rendah. Menghadapi keadaan seperti itu, tugas seorang pendidik adalah mengusahakan cara untuk aktivitas dan peran aktif peserta didik terhadap pelajaran matematika sehingga hasil evaluasi mereka akan meningkat. Cara tersebut dapat dilakukan dengan memilih dan menggunakan model pembelajaran yang banyak melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar, baik secara mental maupun fisik.
Kurikulum yang diterapkan pemerintah saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum baru ini, pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Mempelajari strategi pemecahan masalah ini bagi peserta didik selalu menjadi sangat penting karena dapat digunakan atau dimanfaatkan para siswa ketika mereka terjun langsung di masyarakat, maupun ketika mereka mempelajari mata pelajaran lainnya.
Walau dianggap sangat penting tetapi kegiatan pemecahan masalah masih dianggap sebagai bahan yang sulit dalam matematika, baik bagi peserta didik dalam mempelajarinya maupun bagi guru dalam membelajarkannya. Fadjar shadiq menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, peserta didik perlu memiliki beberapa keterampilan sesuai dengan langkah-langkah dalam pemecahan masalah, antara lain keterampilan memahami masalah, memilih strategi pemecahan masalah, menyelesaikan masalah dan manafsirkan hasil (Fadjar Shadiq, 2005:39-41).
Pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran diharapkan akan lebih menyenangkan, mudah dipahami dan lebih bermakna bagi peserta didik. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning), yaitu model pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang berfokus pada konsep-konsep, melibatkan peserta didik dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas yang lain, serta memberi kesempatan peserta didik membangun pengetahuan mereka sendiri (Kasmadi, 2008:6).
Salah satu keuntungan dari pembelajaran ini adalah dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik karena dalam model pembelajaran ini peserta didik tidak hanya mendengar, melihat dan membaca, tetapi juga melakukan langsung kegiatan investigasi. Berbeda dengan pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah. Pada pembelajaran konvensional berbantuan masalah, peseta didik hanya di hadapkan masalah dalam bentuk teks yang terdapat pada kartu masalah, tidak mengalami secara langsung atau nyata dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam pembelajaran berbasis proyek. Sehingga diharapkan kemampuan memecahkan masalah peserta didik yang belajar dengan model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) ini akan lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah. Dengan demikian hasil belajar peserta didik juga akan semakin meningkat.

3. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan rumusan dalam penelitian ini, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Penerapan model pembelajaran berbasis proyek efektif pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika materi pokok kubus dan balok peserta didik kelas VIII SMP N 2 Ungaran?
2) Kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik yang menerapkan model pembelajaran berbasis proyek lebih baik dari kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik yang menerapkan pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah.


I. METODE PENELITIAN
1. Lokkasi Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengadakan penelitian di kelas VIII SMP N 24 semarang, Jl. Pramuka No 1 semarang.

2. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002:108). Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII Semester 2 di SMP N 2 Ungaran, yang terdiri dari sembilan kelas.

3. Sampel
Menurut Suharsimi Arikunto (2006:131) sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling. Pada kenyataan, sulit kiranya melakukan randomisasi secara penuh pada seluruh siswa kelas VIII. Masing-masing kelas diasumsikan memiliki karakteristik yang hampir sama sehingga pemilihan secara random dua kelas di antara sembilan kelas yang ada akan mewakili populasi siswa kelas VIII. Dalam hal ini didapatkan sampel kelas VIII.8 sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII.9 sebagai kelas control serta satu kelas sebagai kelas uji coba yaitu kelas VIII.6.

4. Variabel Penelitian
Variabel terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependen). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran berbasis proyek. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik.

5. Metode Pengumpulan Data
a) Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan daftar nama peserta didik yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian. Selain itu, teknik ini juga digunakan untuk mendapatkan daftar nilai ulangan tengah semester 1 dari peserta didik yang menjadi subjek penelitian.

b) Metode Tes
Tes ini dilaksanakan pada peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sebelum diteskan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, item soal terlebih dahulu diujicobakan pada kelas uji coba. Sehingga didapat soal dalam kategori baik, baru soal tersebut diteskan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sebagai subjek penelitian.

c) Metode Observasi
Metode ini digunakan untuk mengetahui kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Serta untuk mengetahui aktivitas peserta didik ketika mengikuti pembelajaran baik peserta didik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol.

d) Metode Angket
Metode angket digunakan untuk mengetahui disposisi matematis peserta didik yang telah diberi model pembelajaran project based learning (PBL) dan peserta didik yang telah mendapat model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah. Angket disposisi matematis diberikan kepada peserta didik setelah mendapat model pembelajaran project based learning (PBL) dan model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah.


6. Prosedur Penelitian
a) Desain Penelitian
Desain dalam penelitian ini menggunakan satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Desain penelitian yang digunakan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 3.1. Rancangan Eksperimen
Kelas Perlakuan Tes
Eksperimen Diterapakan model pembelajaran berbasis proyek T
Kontrol Diterapkan pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah T
Keterangan:
T :Tes kemampuan memecahkan masalah dalam bentuk soal uraian matematika kelas VIII pokok bahasan kubus dan balok

b) Pelaksanaan Penelitian
Materi pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah kubus dan balok, dalam sub pokok bahasan luas permukaan dan volume. Penelitian dirancang dalam lima pertemuan. Empat pertemuan untuk pelaksanaan model pembelajaran berbasis proyek pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah pada kelas kontrol. Sedangkan satu pertemuan terakhir untuk tes akhir setelah pembelajaran. Secara umum langkah-langkah pembelajaran dari masing-masing kelas terlihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 3.3. Langkah-Langkah Pembelajaran
Model Pembelajaran Berbasis Proyek Model Pembelajaran Konvensional Berbantuan Kartu Masalah
1. Guru menyampaikan materi prasyarat. 1. Guru menyampaikan materi prasyarat.
1. Guru membagi peserta didik menjadi kelompok-kelompok kecil. 2. Dengan metode tanya jawab guru menjelaskan materi pokok pembelajaran.
2. Guru memberikan informasi proyek yang akan dikerjakan. 3. Guru memberikan kartu masalah pada masing-masing peserta didik.
3. Menentukan waktu dan lamanya kegiatan yaitu dikumpulkan pada pertemuan berikutnya sehingga diharapkan peserta didik segera melaksanakan proyek tersebut. 4. Peserta didik diberi waktu mengerjakan kartu masalah tersebut.
4. Guru menyampaikan format pengumpulan data. 5. Peserta didik ditunjuk untuk maju mengerjakan kartu masalah
5. Peserta didik mengumpulkan proyek yang sudah dikerjakan. 6. Hasil pekerjaan dibahas bersama-sama oleh guru dan peserta didik.
6. Guru menunjuk salah satu kelompok untuk mempresentasikan proyek tersebut di depan kelas.
7. Guru bersama-sama peserta didik menarik kesimpulan.
8. Guru memberikan lembar diskusi sebagai proyek lanjutan yang dikerjakan di dalam kelas dan dibahas saat itu juga.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada saat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Merancang kelas yang akan dijadikan sampel, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2) Membuat instrumen penelitian.
3) Melaksanakan uji coba instrumen penelitian pada kelas uji coba.
4) Melaksanakan pembelajaran pada sampel penelitian. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis proyek sedangkan kelas kontrol diberi perlakuan dengan penerapan model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah.
5) Mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian pada kelas sampel dengan metode tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika.
6) Menganalisis data yang telah dikumpulkan dengan metode yang telah ditentukan.
7) Menyusun dan melaporkan hasil-hasil penelitian.


7. Instrumen Penelitian

a) Instrumen Tes
Penyusunan instrumen penelitian dilakukan sesuai dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Menentukan materi pokok dalam penelitian ini yaitu tentang luas dan volum kubus dan balok.
2) Menentukan bentuk tes yang digunakan, yaitu berupa soal uraian.
3) Menentukan alokasi waktu mengerjakan soal.
4) Menentukan jumlah butir soal.
5) Menentukan waktu mengerjakan soal.
6) Membuat kisi-kisi soal.
7) Menulis petunjuk pengerjaan soal dan bentuk lembar jawab.
8) Menulis butir soal.
9) Membuat kunci jawaban dan penentuan skor.
10) Mengujicobakan instrumen.
11) Menganalisis hasil uji coba dalam hal validitas, reliabilitas, daya beda, dan taraf kesukaran soal.
12) Memilih item soal yang sudah teruji berdasarkan analisis yang dilakukan.

b) Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mengukur aktivitas guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.


8. Teknik Analisis Data

a) Analisis Instrumen Tes
1) Analisis Validitas Tes
Rumus yang digunakan untuk menghitung validitas tes secara empiris adalah rumus korelasi product moment sebagai berikut.

Dengan:
rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
N = banyaknya peserta tes
X = jumlah skor per item
Y = jumlah skor total
(Arikunto, 2002:72)
Perhitungan dilakukan dengan program Microsoft Excel untuk memperoleh nilai rxy. Setelah diperoleh nilai rxy, selanjutnya dibandingkan dengan hasil r product moment dengan taraf signifikan 5 %. Butir soal dikatakan valid jika .

2) Analisis Reliabilitas Tes
Analisis reliabilitas tes pada penelitian ini diukur dengan menggunakan rumus Alpha sebagai berikut.

Rumus varians total

dengan:
r11 = reliabilitas yang dicari
= varians skor total
= varians skor butir
= jumlah skor total kuadrat
= kuadrat dari jumlah skor
(Arikunto, 2002:108-109).
Kriteria pengujian reliabilitas soal tes yaitu setelah didapatkan harga r kemudian harga r tersebut dikonsultasikan dengan harga r product moment pada tabel, jika r > r maka item tes yang diujicobakan reliabel.

3) Analisis Tingkat Kesukaran Soal
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Teknik perhitungan tingkat kesukaran soal adalah menghitung berapa persen peserta tes yang gagal menjawab benar atau ada dibawah batas lulus tiap item. Tingkat kesukaran soal dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Kriteria tingkat kesukaran soal dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 3.4. Kriteria Tingkat Kesukaran Soal
Keterangan Kriteria
Jika jumlah peserta tes yang gagal kurang dari 27%
Jika jumlah peserta tes yang gagal antara 28% - 72%
Jika jumlah peserta tes yang gagal 72% ke atas Mudah
Sedang
Sukar
Sumber: Arifin (1991:135)

4) Analisis Daya Pembeda Soal
Teknik yang digunakan untuk menghitung daya pembeda untuk tes berbentuk uraian adalah dengan menghitung perbedaan dua buah rata-rata (mean) yaitu antara mean kelompok atas dan mean kelompok bawah untuk tiap-tiap item soal. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

(Arifin, 1991:141)
dengan:
t = daya pembeda soal
MH = mean kelompok atas
ML = mean kelompok bawah
= jumlah kuadrat deviasi individual kelompok atas
= jumlah kuadrat deviasi individual kelompok bawah
ni = 27 % x N
Hasil perhitungan dikonsultasikan dengan t ,
d = (ni-1)+(ni-1) dan = 5% jika t > t , maka daya beda soal tersebut signifikan.

b) Analisis Data Hasil Observasi
1) Kriteria Penilaian Aktivitas Guru
Kriteria yang digunakan untuk melihat aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 3.5. Kriteria penilaian aktivitas guru
Persentase Pengelolaan Pembelajaran Kriteria
Persentase pengelolaan ≤ 25 % Kurang baik
25 % < Persentase pengelolaan ≤ 50 % Cukup
50 % < Persentase pengelolaan ≤ 75 % Baik
Persentase pengelolaan > 75 % Sangat baik

2) Kriteria Penilaian Aktivitas Peseta Didik
Kriteria yang digunakan untuk melihat aktivitas peserta didik dalam pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 3.6. Kriteria penilaian aktivitas peseta didik
Persentase Aktivitas Peseta Didik Kriteria
Persentase pengelolaan ≤ 25 % Kurang baik
25 % < Persentase pengelolaan ≤ 50 % Cukup
50 % < Persentase pengelolaan ≤ 75 % Baik
Persentase pengelolaan > 75 % Sangat baik

c) Analisis Data Awal
Analisis data awal dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji homogenitas.
1) Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data awal kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal atau tidak. Rumus yang digunakan adalah Chi Kuadrat. Langkah-langkah uji normalitas data sebagai berikut.
a) Menyusun data dan mencari nilai tertinggi dan terendah.
b) Membuat interval kelas dan menentukan batas kelas.
c) Menghitung rata-rata dan simpangan baku.
d) Membuat tabulasi data ke dalam interval kelas.
e) Menghitung nilai Z dari setiap batas kelas dengan rumus sebagai berikut.
(Sudjana, 1996.138).
f) Mengubah harga Z menjadi luas daerah kurva normal dengan menggunakan tabel.
g) Menghitung frekuensi harapan berdasarkan kurva dengan rumus sebagai berikut.
, dengan:
X2 = Chi Kuadrat
Oi = Frekuensi pengamatan
Ei = Frekuensi yang diharapkan
h) Membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel dengan taraf signifikansi 5%.
i) Menarik kesimpulan, yaitu jika X2hitung < X2tabel maka data berdistribusi normal.
(Sudjana, 2002:273)


2) Uji Kesamaan Dua Varians (Uji Homogenitas)
Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian memiliki kondisi yang sama atau homogen. Uji homogenitas dilakukan dengan menyelidiki apakah kedua sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan dalam uji ini adalah sebagai berikut.
, artinya kedua kelompok sampel mempunyai varians sama.
, artinya kedua kelompok sampel mempunyai varians tidak sama.
Menguji kesamaan dua varians digunakan uji Bartlett dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat sebagai berikut.
dengan
dan
dengan
= varians masing-masing kelas
= varians gabungan
B = koefisien Bartleet
ni = banyaknya testi masing-masing kelas
(Sudjana, 2002:262)
x2hitung dibandingkan dengan x2(1-α)(k-1) dengan taraf signifikansi 5%, dk = k-1. Jika x2hitung < x2(1-α)(k-1) maka Ho diterima, berarti kedua kelompok tersebut mempunyai varians yang sama atau dapat dikatakan homogen.


d) Analisis Data Akhir
1) Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data yang akan dianalisis berdistribusi normal atau tidak. Rumus yang digunakan adalah uji Chi-Kuadrat dengan hipotesis statistika sebagai berikut.
= Data berdistribusi normal
= Data tidak berdistribusi normal

keterangan: = harga chi – kuadrat;
= frekuensi hasil pengamatan;
= frekuensi diharapkan
Kriteria pengujiannya adalah diterima jika dengan taraf nyata 5% (Sudjana, 1996:273).

2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui kehomogenan varians dari kelas kontrol dan kelas eksperiman. Hipotesis statistikanya sebagai berikut.
= , artinya kedua kelas mempunyai varians sama.
= , artinya kedua kelas mempunyai varians tidak sama.
Menguji kesamaan dua varians digunakan uji Bartlett dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat sebagai berikut.
dengan
dan , dengan
= varians masing-masing kelas
= varians gabungan
B = koefisien Bartleet
ni = banyaknya testi masing-masing kelas
(Sudjana, 1996:250).
Selanjutnya x2hitung dibandingkan dengan x2(1-α)(k-1) dengan taraf signifikansi 5%, dk = k-1. Jika x2hitung < x2(1-α)(k-1) maka Ho diterima, berarti kedua kelompok tersebut mempunyai varians yang sama atau dapat dikatakan homogen.

3) Uji Perbedaan Dua Rata-rata (Uji t)
Kriteria pengujian hipotesis yang pertama adalah uji satu pihak, yaitu uji pihak kanan. Langkah-langkah pengujian hipotesisnya adalah sebagai berikut ini.

a) Perumusan Hipotesis
, artinya rata-rata skor tes kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik pada kelas eksperimen kurang dari atau sama dengan rata-rata skor tes kemampuan memecahkan masalah matematika kelas kontrol.
, artinya rata-rata skor tes kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik pada kelas eksperimen lebih dari rata-rata skor tes kemampuan memecahkan masalah matematika kelas kontrol.

b) Menguji kebenaran hipotesis yang diajukan digunakan uji t satu pihak (pihak kanan), rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
1) Jika kedua kelompok sampel mempunyai varians sama atau maka digunakan rumus sebagai berikut.
dengan
dengan:
= rata-rata nilai peserta didik pada kelas eksperimen
= rata-rata nilai peserta didik pada kelas kontrol
n1 = jumlah peserta didik pada kelas eksperimen
n2 = jumlah peserta didik pada kelas kontrol
s = simpangan baku
s1 = simpangan baku kelas eksperimen
s2 = simpangan baku kelas kontrol
(Sudjana, 2002:239)
Kriteria penolakan Ho adalah jika dengan taraf signifikansi 5%.
2) Jika kedua kelompok sampel mempunyai varians tidak sama atau maka digunakan rumus sebagai berikut:
Kriteria penolakan Ho adalah jika
dengan:
; ; ;
(Sudjana, 2002:241)
Apabila hipotesis ini diterima dalam pengujian hipotesis ini maka menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik pada kelas eksperimen lebih dari kemampuan memecahkan masalah kelas kontrol. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran berbasis proyek juga lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah.


4) Uji Proporsi Satu Pihak
Menguji hipotesis yang kedua digunakan uji proporsi satu pihak. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah persentase ketuntasan pesera didik yang menerapkan model pembelajaran berbasis proyek akan lebih baik dari ketuntasan belajar peserta didik yang menggunakan model pembelajaran konvensional berbantuan kartu masalah. Hipotesis yang akan diuji sebagai berikut.
H0: π = π0
H1: π > π0

Keterangan:
H0 : π = π0, artinya persentase ketuntasan belajar peserta didik pada kelas eksperimen sama dengan persentase ketuntasan belajar peserta didik kelas kontrol.
H1 : π > π0, artinya persentase ketuntasan belajar peserta didik pada kelas eksperimen lebih dari persentase ketuntasan belajar peserta didik kelas kontrol.
Pengujiannya menggunakan statistik Z yang rumusnya sebagai berikut.

Keterangan:
x : banyak pesrta didik yang tuntas kelas eksperimen
n : banyaknya seluruh peserta didik kelas eksperimen
π0 : proporsi
Dengan kriteria pengujian tolak H0 jika Zhitung ≥ Z(0,5-α) dimana Z(0,5-α) diperoleh dari distribusi normal baku dengan peluang (0,5-α). (Sudjana, 2008:234).

1 komentar:

  1. boleh minta daftar referensinya nggak mbak,,,,? soale aq juga tentang pbl, kl g kbrtan bisa d post ke emileq "mas_apip87@yahoo.co.id" tankyu mbak,,,,

    BalasHapus